Rabu, 18 Juli 2012

Camar Bulan - Tanjung Datu

Ini cerita tentang negeriku
zamrud khatulistiwa yang nestapa
kaya tapi selalu meminta-minta
subur tapi sangat tidak makmur
menjadi budak kapitalisme lamur
--; diinjak -injak kawan serumpun

Camar Bulan - Tanjung Datu
saudaraku setanah seibu
dijarah tanpa banyak tahu
penguasa asyik main dadu
demi mempertahankan kursi palsu

O...Camar Bulan - Tanjung Datu
kobarkan kepak semangatmu
lawan siapapun yang mencegatmu
bakar! bakar api di jantungmu
babat! babat siapapun yang memperalatmu
--; meski itu saudara lamamu

Kibarkan panji NKRI
ganyang siapapun yang berani
jangan menunggu rejim banci
kedaulatan negeri tak cukup diplomasi

                        12/10/2011

Surat Sondang Untuk Presiden

Beginilah isi hati Sondang
Pemuda berani pembakar nurani
Mesti bikin malu seluruh negeri
Indonesia yang buta dan tuli
Bahagia jelata tinggal mimpi
Di antara puing reruntuhan harga tinggi

“Namaku Sondang!
Di mata Pak Presiden mungkin terbuang
Membela keadilan dipikir bikin onar
Membela rakyat dibilang anarkis
Membela hak asasi dicibir basi

Tapi,
Negeri ini membutuhkan kegilaan
Untuk membuka nurani senayan
Atau istana yang penuh borok luka
Dikelilingi manusia korup
Bertingkah suci tanpa jelaga.”

“Namaku Sondang!
Bakar diri adalah harga mati
Untuk keadilan terpuruk di toilet sepi
Di negeri yang gemar menggadaikan diri
Di negeri yang suka menelikung teman sendiri
Korupsi adalah panglima tertinggi”


Kutemukan surat Sondang ini
Di antara puing harapan
Panasnya api di jalanan
Di antara jejak para demonstran. (*)


                                                          Jakarta, Desember 2011

Dornasia; Negeri Seribu Janji

Namaku Dorna
Aku lahir di negeri yang indah dan ramah
Negeri jarang terjamah, jauh dari rasa gundah
Sungai-sungai mengalir lirih
Kicau burung pagi menyambut mentari
Membangunkan wajah negeri dari mimpi
Menyambut hari tanpa menjual harga diri.

Namaku Dorna
Mirip nama tokoh pewayangan
Berjalan pada sepertiga malam terakhir
Mengayun takdir hingga titik nadir
Dorna yang penjagal nasib baik
Dorna sang penghasut lalu hilang dibalik kabut
Menyisakan tangis sampai maut menjemput.

Dan inilah awal kisah manis itu…

“Aku datang membawa kelam malam
Ke negeri yang penuh muslihat
Miskin akal sehat, gudang kaum melarat
Anak-anak telanjang dada bermain di pematang
Para perempuan meregang mimpi menahan lapar
Hujan datang menghantam setumpuk kedinginan”

“Kutemui perempuan menggamit putri mungilnya

Wajah bening, berbibir kecil, menggantung senyum ketidakmengertian.
Berlari menelusuri pematang dengan langkah meradang.
Putri mungilnya pun menangis
Menahan gerimis, tipis menusuk nadi”

“Ibu…

Kenapa aku dilahirkan di negeri seperti ini?
Kenapa aku dilahirkan disini…?
Ketika semua tidak bisa kumengerti
Negeri yang membuat ibu susah
Negeri yang membuat ibu lelah”

“Ibu…

Dimana senyum yang kurindukan?
Dimana canda nyaman yang kuimpikan?
Dimana makanan kecil yang selalu ada di meja makan?
Dimana peluk yang tersedia setiap malam?”

Sang ibu membingkai senyum
Mengurai asa digaris senja
Menjawab tanya sesuai doa
Ibu dan putri mungilnya itupun melangkah pelan
Sepelan gerimis mengalir ringan.

Aku Dorna,
Sebenarnya tak sanggup meneruskan cerita ini
Cerita yang tak seindah dongeng
Atau semanis nyanyian pengantar tidur
Tentang negeri impian yang dipenuhi bunga
Dan senyum kebahagiaan.

“Putri kecilku…
Kutak minta kau dilahirkan disini
Kutak minta kau meregang lapar disini
Kutak minta kau kehilangan harapan di negeri ini”

“Lihatlah!

Mereka sibuk mendongeng sendiri
Membakar ketulusan, membungkam keikhlasan
Di negeri ini, kita belajar menjual harga diri
Menyobek martabat, menggandeng segudang laknat”

“Dan Putri kecilku…

Kita bagian dongeng itu
Legenda yang tidak mampu dimengerti
Legenda cinta penuh muslihat
Kalimat busuk terhidang dalam perjamuan suci”


Negeri ini semakin compang-camping saja
Negeri ini semakin liar!
Doa dan dosa menjadi muslihat yang keramat
Rakyat menjadi korban tanpa tobat
Pejabat mengumbar tingkah bejat
Kebaikan adalah dosa besar!
Ketulusan haram hukumnya.

Aku Dorna,
Dan kuberi nama negeri ini; Dornasia!
Kelak anak-cucuku akan mengenang kenyamanan menyiksa ini
Dornasia, negeri mimpi yang dipenuhi janji
Ya! Sekedar janji!

“Ibu…
Meski bergelimang janji
Aku bangga lahir di negeri ini
Negeri yang penuh muslihat
Dan perilaku sulit dimengerti

Aku bangga disini

Meski harus melacurkan hati
Menjual diri demi sesuap mimpi.

Lihat mereka!

Bangga tanpa kata-kata, itulah seharusnya
Tuhan mengajariku doa;
Suatu saat kelak, rapuh mimpiku mengubah mereka
Lemah jemariku menggandeng siapa saja
Kembali menjejak pada kebenaran”

Aku berjanji,

Pabila dewasa nanti, kuubah negeri ini
Menjadi negeri penuh harga diri
Tegak diatas mimpi bangsa sendiri
Tersenyum menggenggam budaya tinggi
Kaya diatas tanah air pribumi

Aku berjanji,

Menyapu bersih teras dan ruang tamu
Dari muslihat gaya baru
Menyeka meja-kursi dari debu masa lalu
Mengguyur baju-baju dari noda saudara-saudara tuaku.

Ibu, aku berjanji

Negeri ini akan bening
Rakyat akan hening
Jika penguasa bijak tanpa berpaling"


Dornasia Raya!
Berparas cantik, bermata lentik
Meski cuma sedetik.

Dornasia…! Tanah airku, Tanah tumpah darahku
Disanalah aku berdiri….jadi beban bangsaku…

Ya! Cuma berdiri tanpa berbuat apapun!
Akulah Dorna
Maaf, jika ibu dan anak itu, akhirnya…
Menjual diri di negeri sendiri
Merampok milik sendiri
Membunuh kerabat sehati

Dornasia!
Negeri seribu janji
Membentang tepat di khatulistiwa peradaban.


                              Jombang, 4 Maret 2010

Sketsa Januari

Januari hujan tak berhenti
Sajakku masih tersemai
Di taman tanpa tepi
Bukan lukisan tanpa bingkai
Tapi goresan warna-warni

Januari gerimis semakin liris
Langit pekat mengepal tangis
Ada malaikat di awan tipis
Bergerak berjingkat ritmis
--; Seperti nyala api tak habis

Ini bulan Januari
Purnama sebentar lagi
Ambil sebilah belati
Jangan serekah melati
--; Ini bukan bulan mimpi

                          Jbg, 13/1/2012

Sepi Adalah Kata

Puisiku lahir dari sepi
Saat angin menyapa dendam
Saat dingin mengukir embun
Jatuh di atas bebatu tak mati
Meski badai mendera tanpa henti
Karena kata aku ada
Karena kata aku berjiwa
Karena kata sepiku bermakna

Puisiku lahir dari sepi
Saat ombak menggulung pantai
Terbang bagai pasang merpati
Berkabung di reruntuhan karang hati
Melukis di rentang jemari
--; Sepi akan selalu berganti
                                  Surabaya, 2011

Minggu, 15 Juli 2012

Berlindung di Perahu Nuh


/1/
Bintang tak terlihat lagi di langit gurun
Rembulan mati di balik gunung bebatu
Ribuan burung kehilangan tempat berlindung
Ketika pasir melahirkan beribu laksa air
Ini bukan saatnya berkabung

“Lihat! Lelaki tegap di atas buritan
Matanya sigap menatap senyap
Menangkap gelombang menggelegap
Menyingkap tabir yang mengalir pengap
Terapung di pucuk kurma tanpa buah
Tapi bukan tanpa tujuan”

/2/
Cakrawala tak akan berkata apa-apa
Ketika burung gagak kehilangan kelepak
Perahu Nuh tegak melaju dan berlalu
Berpuluh doa terbujur kaku dan membeku
Ini saatnya membuka jazirah baru

“Perahuku bukan dari kertas
Tak akan tenggelam di samudra bebas
Meski puting angin kelam melibas
Dan badai membanting panas gelombang
--; Tumpahkan wajah! Tumpahkan

Cium hati Sang Pemilik Bumi”

/3/
Tepat sepertiga malam terakhir
Matahari merona merah terjaga
Nuh membuang sauh tanda berlabuh
Banjir gurun telah selesai
--; Tapi jangan turunkan layar!

Karena kisah belum selesai
Perjalanan baru dimulai di sini
Dan sejarah itu seperti janji
Kita hanya debu tanpa arti
Ambil jangkar saat pagi kembali

/4/
“Kalian naiklah ke atas perahuku
Jangan ragu buang selimut jahiliyahmu
Jangan ragu buang kabut gelisahmu
Lupakan raja yang selalu menghunus pedang
Duduk di singgasana tanpa kasih sayang
--; Sepanjang jaman seperti sekarang”

Berlindunglah di perahu Nuh
Menuju negeri damai tanpa pantai
Sebelum salam matahari Subuh.


                                                 Januari, 23/1/2012

Bermain Sajak


Bermainlah dengan sajakku
Seperti kupu-kupu membelah daun jambu
Menari-nari hingga malam membeku
Menghitung jemari hingga pagi tersipu
Bermainlah dengan sajakku
--; Karena hidup butuh makna baru

Lihat!
Sungai kecil mengalir risau
Butiran air pekat menggigil
Untaian pasir lekat memanggil
Damai seperti mata pisau
Damai sedalam kelam danau
--; Karena hidup bukan menginggau

Bermainlah dengan sajakku
Seperti anak-anak lugu tanpa malu
Sejatinya hidup tidak untuk peragu.


                                            April, 2012

Karena Kita Manusia

Apa artinya mimpi
Jika pagi belum mulai?
Apa makna cita-cita
Jika malam terlalu gulita?
--; Berjalanlah saja, berjalan

Temukan senyum kehidupan
Di tikungan sebelum hujan
Seperti kelakar para malaikat
Saat doa lekat terpanjat
--; Usaplah muka rapat-rapat

Jangan sesekali meminta
Jika berulangkali terlupa
Jangan sesekali mengiba
Karena kita adalah manusia
--; Seperti air dalam bejana

(Berjalan saja, berjalan saja)


                               :22/04/2012

Saruyan, Lelaki Kecil Itu

Bisa jadi ini sekedar kata
Atau puisi tanpa makna
Seperti siang malam terjadi
Begitu saja tanpa jeda
Atau iba sekedarnya saja

Lelaki kecil duduk di sengkala senja
Tertunduk menatap harapan kerdil
Pada hidup pengap jauh rasa adil
Tanpa ibu-bapak sigap memanggil

Saruyan! Tubuhmu lunglai terjaga
Kanak-kanakmu dilibas usia
Telanjang jemari bulat kelereng
Menggenggam jaman tak enteng
Menyulam cita-cita tanpa menggeleng”

Bisa jadi ini sekedar kata
Tentang Saruyan dicincang hujan
Bocah kecil di pertigaan jalan
Sejak mungil tak kenal manja
Apalagi meja makan keluarga

Akulah Saruyan!
Di rimba kota aku bertahan
Calon preman tak terkalahkan
Tanah Abang - Kampung Rambutan
Orang tuaku hanya ingatan
Keluargaku jalan bantaran
Karena hidup membutuhkan dendam
Di jaman kini remuk redam”

Saruyan dialah Saruyan
Lelaki kecil berparas kotor
Tapi Saruyan bukan calon koruptor
Tidak ada jidat klimis
Atau sorot mata bengis
Apalagi bibir tipis dan kata manis
Sebab Saruyan dibesarkan jalanan
Jauh dari sistem kekerabatan

Ya! Akulah Saruyan calon preman
Bisa jadi ini sekedar kata
Atau puisi tanpa makna.


                                     Jakarta, November 2011.

Burung Gagak di Negeri Batu

/1/
Ini kisah selaksa burung gagak yang terbang menyelinap di antara kabut. Paruhnya tajam selalu bergerak dan sorot mata nanar menatap matahari tak lagi bersinar. Sementara dedaun tak lagi disapa embun meski sekejap, terhuyung disapu angin timur. Terhempas dan nyaris hancur. Pesta gagak bukan pesta penggali kubur. Bukan! Lincah melompat di sela kelopak ranting, tergeletak di tanah hitam. Di sebelah kubangan lumpur, seekor gagak riuh menggelegak. Nafsunya kepalang memuncak membuat tidur tak nyenyak.

“Kawan, pesta sebenarnya baru mulai. Jangan ada yang ketinggalan lagi. Kibarkan sayap dan paruh tanda hidup makin liar. Hari ini tidak untuk nanti. Selama matahari enggan melukar hati, tancapkan kuku kalian. Dan buktikan bahwa kuku kaki kita lebih tajam dari kuku para manusia. Bahwa dendam nafsu kita lebih binatang dari keturunan Adam. Hari pembalasan hanya cerita kiasan yang membuat lemah impian. Mari berpesta”

Ribuan burung gagak tersentak. Datang mengorak dari sela langit menukik ke lereng bumi yang sempit. Itu tubuh tak lagi utuh. Kisruh semalam telah membakar api dendam. Manusia saling rajam. Tak bisa diam dan terus beradu kejam. Tombak, batu, panah berlompatan seperti perayaan penuh kembang nyala api. Nyawa harganya tak terlalu tinggi apalagi hukum penuh nurani. Membantai kawan sendiri adalah perilaku asasi demi harga diri.

/2/
Kini, tubuh itu runtuh! Tanpa peluh sebelum fajar menyentuh, telungkup di pucuk rembulan sabit. Setangkai melati mekar malu-malu diterjang layu dan beku. Karena manusia kehilangan peradaban kalbu. Karena manusia kehilangan kesantunan seperti di Negeri Batu. Negeri tanpa hati dan keadilan terkubur di jantung bumi. Tadi pagi, sebutir peluru menembus anak kecil berwajah lugu. Tadi malam, tombak bambu menghujam lelaki sedingin pualam. Besoknya, puluhan bayi mati karena aborsi. Gunung-gunung menggugurkan jurangnya, puting beliung menyobek wajah-wajah berkabung.

“Di Negeri Batu, para gagak bersatu. Kelepak cakar menjalar di setiap sudut jalan. Hujan menumpuk dendam di kubangan, kebencian meringkuk diam di tikungan. Dimana rasa sedih itu? Dimana nurani lirih itu? Dimana putih kebaikan itu? Dimana! Seekor gagak terbang rendah hinggap di tubuh lunglai-luluh. Menjelma menjadi siapa saja di keramaian nestapa. Gagak itu duduk di meja makan. Gagak itu beringas di jalanan. Gagak itu menikam kerabat sehati. Mati. Gagak itu berdiri tegak di puncak menara api. Gagak itu merampas tangan dan kaki kita.”

Lihatlah burung gagak di Negeri Batu, berpesta tanpa ragu. Menuang minuman di meja kalbu. Kita hanya diam membeku. Hingga gagak liar itu bertengger di sudut kelopak hati. Berhembus angin timur menyobek kemanusiaan kita.***

Jombang, Januari 2011