Selasa, 28 Agustus 2012

Kisah Burung Manyar

Gemercak angin menyapa daun bambu
Burung manyar merentak sayap
Hinggap terbang di pucuk senyap
Menuju sarang dan terlelap
Selesai hidup matahari redup

Aku ceritakan tentang burung itu
Kepadamu sebelum malam pengap
Rembulan tersesat di belantara awan
Jatuh membayang di sela air
pendar dan hilang kabar
Seribu burung manyar terpejam
Seribu burung manyar tertunduk diam
Saat angin merayu pucuk bambu
--; di jantung kampungku

Kini adalah pohon bambu menyambutmu
Saat sayup menderas kalbu
Saat bayang jagung kering membeku
Adakah sarang itu berteriak lantang;
"Datanglah padaku oh burung manyarku
Tidurlah di relungku oh burung manyarku
Simpanlah sayap sebelum esok menyerbu"

Burung manyar terbang liar
Melayang nanar tanpa binar
Tinggal angin menyapa pucuk bambu
Sarang kosong tanpa peluk rindu
Biarkah Sang Manyar hinggap di jemarimu
--; Biarkan!


                                              2011

Jumat, 24 Agustus 2012

Rabu, 15 Agustus 2012

Senja Pelabuhan Ratu

Aku ada di sini
Di tepi Pelabuhan Ratu
Menulis sajak memeluk pantai
Camar rindukan pantai
Hilang di karang landai

Aku ada di sini
Kepada pasir angin mengalir
Kepada bebatu tajam menghadang
Pecah gelombang sebelum tujuan
--; Basahi jemari sedalam lukamu

Ada perahu di ujung cakrawala
Melaju di senja Pelabuhan Ratu
Seperti doa kupanjatkan penuh ragu
Seperti lentera sunyi malam itu
Malam ketika nelayan hilang kejujuran

                                          2011

Senin, 13 Agustus 2012

Sajak Minum Kopi

Tuangkan kopi secangkir saja
Pelepas dahaga sebelum senja
Kibaskan penat sebelum terjaga
Lepaskan duka tuang sebisanya
Mari minum sepelan lupa

Hidup harus memiliki arti
Meski hitam secangkir kopi
Meski kelam jangan pikir lagi
Bulan tak akan mengulang hari
Tapi ombak selalu memeluk pantai
--; Di sini aku menulis sunyi

Sebelum matahari merah sembunyi
Tumpahkan kopi ke tepi hati
Sedikit lagi.


                                   Jakarta, 2011

Hidup dalam Sajak

Mari bicara dengan hati dewasa
Seperti rerumputan ketika senja
Seperti rembulan rona purnama
Menari di antara risau tanpa henti
--; Begitulah hidup kita lewati

Menjadi dewasa bukan soal kata
Ketika mampu mempermainkan makna
Bahwa hidup sejatinya berhenti
Saat kita tak kuasa bermimpi
--; Bukan mati tetapi hilang diri

Mari bicara dengan hati dewasa
Seperti malam menidurkan matahari
Seperti hujan melepas janji.


                                        2011

Sabtu, 04 Agustus 2012

Pada Jembatan Berbatu

Jalan itu menikung dan berbatu
Padahal hujan baru saja berlalu
Bias embun seperti cermin
Di rerumputan tanah membeku
Baca sajakku jika gelisahmu berlalu
Baca sajakku jika malammu beradu
--; Dan berhentilah di jembatan itu

Ambillah sepucuk dedaun, ambil!
Jatuhkan ke riuh air tanpa ragu
Seekor ikan terjerat mata kail
Lihat dia berlari dan terus berlari
--; Tanpa peduli detak jantungmu

Ini jalan menikung dan berbatu.


                                   April, 2011

Cerita Untuk Istriku

Istriku, puisi ini tak pernah selesai
Ketika lunglai rindu mendedah batu
Ketika sunyi menebah wajah
Ada tangkai hujan membisu
--; kutulis cerita sebelum pagi

Tentang sampan di danau kecil
Menebar jala tanpa mata kail
Menyimpan kabar ragu menggigil
Jangan biarkan sampan itu
Pulang sebelum cakrawala memanggil

Istriku, puisi ini tak pernah selesai
Ketika malam hanyutkan embun
Rebahlah! Rebahlah seperti bidadari
Kusunting rerumputan tanpa daun
--; Meski juntai kabut tak terpahami


                             Jakarta, November 2011

Jumat, 03 Agustus 2012

Elegi Untuk Chaa Ghazali

Negeriku dan negerimu, sahabatku
Kini hilang sapa hilang rasa
Tinggal hujat mengada, setiap senja
Ketika aku tutup mata
Kubayangkan Malaka mendebur iba

Negeriku dan negerimu, sahabatku
Bukan kita!

Karena aku dan kau ; pernah semimpi
Tertawa sebagai hamba, lepas kata nagari
Harusnya memang begitu
-----; karena hujat tak lantas relakan sahabat.

Lihat! Tumpukan amarah beribu benci
Menggunung gundah, bisa kupahami
Kita miliki hati genggam makna tinggi
-----; lepas dendam, itulah sahabat sejati

Negeriku dan negerimu, sahabatku
Bukan kita!


                                     Jakarta, 22/08/2010


Puisi Belati

Jika aku mulai berpuisi
tanda waktu tak bermimpi
Jika aku menghapus sepi
tanda beku risau hati
--; karena puisi, mimpi, sepi, di hati

Puisi seperti mata-merpati
Puisi setajam belati imaji
Puisi sediam bebatu kali
--; pungut dan simpan di laci

Karena sejujurnya
laci tak butuh kunci
tubuh tak butuh imaji
negeri tak butuh mimpi

Tapi aku mulai berpuisi
Inikah birahi purbani?

                         Oktober 2011

Kamis, 02 Agustus 2012

Sajak Menjelang Pagi

Pernahkah, sekali saja kau lihat
Langit merah memukau senja
Seperti sore begini di sini
Kueja langkah tanpa jeda
Matari tenggelam bukan tak sengaja

Pernahkah, kau ingat sekali saja
Purnama terselip di antara dedaun jambu
Bintang tanpa kedip bercumbu
Seperti kelelawar bersulang nafsu
--; Tak letih aku merindu

Jika esok pagi hujan tak berhenti
Jangan patahkan kelopak melati
Jika esok gerimis kusamkan hati
Letakkan napasku di sela jemari
--; Hidup adalah badai tanpa celah henti

Kutulis sajak ini
Sebelum tidur menjelang pagi.


                         Rawamangun, 24 November 2011

Selukar Matahari

                         untuk; Neng Tari

Seketika kabut teriris
Pada pagi belum habis
Atau matahari melukar tangis
Lirih jatuh embun segaris

Semalam hujan turun
Jendela itu kusam kembali
Rona dendam sepanjang hati
Mengalir mata air mata
--; Hadir senestapa bunga


Sajakku tak cukup kata
Sajakku tak cukup makna
Sajakku tak cukup bisa
Menukar jeda sakit itu
--; Sepanjang hayat-waktumu



                          Desember, 2011

Dan Inilah Sajakku

Hari ini aku tulis sajak
Sebelum waktu habis membeku
Atau cahya lampu membisu
Dan inilah sajak itu
--; tentang diriku

Lelaki liar itu aku
Mata lincah-nanar milikku
Tingkah seperti belukar

Lelaki bejat itu aku
Pengecut dan tukang tipu
Bulan dalam kubangan batu

Hari ini aku tulis lagi
Sebagai tanda bejat moralku
Sebagai tanda bebal akalku
Selingkuhi perempuan binal
Ciumi perempuan sundal
--; Itu aku itu aku

Dan inilah sajak itu.


                    Desember, 2011

Ibu, Aku Ingin Terompet

(Di pojok pasar beralas tikar)

 Lelaki kecil anak penjual terompet
Duduk berdempet di tembok dingin
Tak kuasa menahan rasa ingin
Tertunduk saat kembang api menggigil
Pesta tahun baru dimulai

“Ibu, sisakan satu terompet untukku
Biarkan aku berlari seperti mereka
Anak-anak yang membeli terompet dari ibu
Sisakan satu, ibu! Sisakan satu”
Kita hanyalah pelengkap pesta
Seperti api membakar lilin dupa

“Anakku, dengarkan saja mereka
Meniup terompet untuk kita
Anak-anak itu bergembira karena kita
Moncongkan bibir, tarik napasmu
Dengarkan saja! Dengarkan terompet itu”
Lelaki kecil itu meringis
Detik-detik bergulir tipis
Harga satu terompet
Mampu menguras dompet
Lelaki kecil anak penjual terompet
Telungkup di samping toilet.

“Selamat tahun baru, anakku”


                     Desember, 2010

Ricau Dedaun

Bukalah pintu sedikit saja
Temaram hujan lentik-tumpah
Dedaun basah menari lincah
Terdengar merdu tanpa jeda
--; Bukan lagu tanpa rima

Bukalah sedikit saja
Jendela kayu rumah kita
Lihat! Langit leka-tersipu
Bersama awan malu-malu
Sebentar hujan akan beradu

Jika kabut basuh wajahmu
Petik melati sehening mimpi
Hingga lukar embun pagi
Hingga nanar tubuh matari
--; Genggam tangan rapuhku

Seperti ricau dedaun itu.


                                      Jbg, 7/1/2012
Cucuk Espe saat monolog "Jenderal Markus" di Royal Plaza Surabaya, Oktober 2010. (Foto by TKHI/2010)

Kisah Sandal Jepit

Aku ingin bercerita tentang sandal jepit
Di negeri yang suka mempersulit
Dipimpin pejabat kaya perut buncit
Rakyat tinggal tulang berbalut kulit
Keadilan jauh di atas langit
Kemakmuran hanya bikin sakit

Ini tentang sepasang sandal jepit
Tapi sandal ini terlalu nakal
Hingga mampu menyobek akal
Tipis batas benar dan bebal
--; Jujur dianggap membual

Karena itu aku ingatkan;
Jangan sesekali mencuri sandal
Hukumannya seberat skandal
Sekali lagi aku ingatkan;
Sandal dan skandal tak beda

Mencuri sandal meringkuk di penjara
Melakoni skandal tinggal tepuk hakimnya
Begitulah keadilan di Negeri Sandal
--; Zamrud katulistiwa yang terjepit.


                                                      Jbg, 9/1/2012

Kepada Bung Besar

Selamat malam, Bung!
Jakarta kini mendung bukan berkabung
Pesta baru mulai lekaslah bergabung
Tuang vodka sekedarnya tanda sapa
--; Ini bukan pesta jelata

Biarkan di luar demonstran mengiba
Biarkan koran-koran naik oplahnya
Biarkan televisi sibuk galang opini
--; Kita berada di tempat aman, Bung

Negeri ini seperti pasar malam
Semua permainan tersedia di sini
Jangan lupa harus saling mengerti
Itu kebijaksanaan kelas tinggi
Jika tidak dihabisi kawan sendiri
Buat cerita jual esok pagi

Jika rakyat sengit beri saja sandal jepit
Terlibat korupsi tak ada hukuman mati
Presiden siap tandatangani remisi
--; Jadi takut apalagi?

Selamat malam, Bung!


                                              ; 14/1/2012