/1/
Ini kisah selaksa
burung gagak yang terbang menyelinap di antara kabut. Paruhnya tajam
selalu bergerak dan sorot mata nanar menatap matahari tak lagi bersinar.
Sementara dedaun tak lagi disapa embun meski sekejap, terhuyung disapu
angin timur. Terhempas dan nyaris hancur. Pesta gagak bukan pesta
penggali kubur. Bukan! Lincah melompat di sela kelopak ranting,
tergeletak di tanah hitam. Di sebelah kubangan lumpur, seekor gagak riuh
menggelegak. Nafsunya kepalang memuncak membuat tidur tak nyenyak.
“Kawan, pesta
sebenarnya baru mulai. Jangan ada yang ketinggalan lagi. Kibarkan sayap
dan paruh tanda hidup makin liar. Hari ini tidak untuk nanti. Selama
matahari enggan melukar hati, tancapkan kuku kalian. Dan buktikan bahwa
kuku kaki kita lebih tajam dari kuku para manusia. Bahwa dendam nafsu
kita lebih binatang dari keturunan Adam. Hari pembalasan hanya cerita
kiasan yang membuat lemah impian. Mari berpesta”
Ribuan burung gagak
tersentak. Datang mengorak dari sela langit menukik ke lereng bumi yang
sempit. Itu tubuh tak lagi utuh. Kisruh semalam telah membakar api
dendam. Manusia saling rajam. Tak bisa diam dan terus beradu kejam.
Tombak, batu, panah berlompatan seperti perayaan penuh kembang nyala
api. Nyawa harganya tak terlalu tinggi apalagi hukum penuh nurani.
Membantai kawan sendiri adalah perilaku asasi demi harga diri.
/2/
Kini, tubuh itu
runtuh! Tanpa peluh sebelum fajar menyentuh, telungkup di pucuk rembulan
sabit. Setangkai melati mekar malu-malu diterjang layu dan beku. Karena
manusia kehilangan peradaban kalbu. Karena manusia kehilangan
kesantunan seperti di Negeri Batu. Negeri tanpa hati dan keadilan
terkubur di jantung bumi. Tadi pagi, sebutir peluru menembus anak kecil
berwajah lugu. Tadi malam, tombak bambu menghujam lelaki sedingin
pualam. Besoknya, puluhan bayi mati karena aborsi. Gunung-gunung
menggugurkan jurangnya, puting beliung menyobek wajah-wajah berkabung.
“Di
Negeri Batu, para gagak bersatu. Kelepak cakar menjalar di setiap sudut
jalan. Hujan menumpuk dendam di kubangan, kebencian meringkuk diam di
tikungan. Dimana rasa sedih itu? Dimana nurani lirih itu? Dimana putih
kebaikan itu? Dimana! Seekor gagak terbang rendah hinggap di tubuh
lunglai-luluh. Menjelma menjadi siapa saja di keramaian nestapa. Gagak
itu duduk di meja makan. Gagak itu beringas di jalanan. Gagak itu
menikam kerabat sehati. Mati. Gagak itu berdiri tegak di puncak menara
api. Gagak itu merampas tangan dan kaki kita.”
Lihatlah burung
gagak di Negeri Batu, berpesta tanpa ragu. Menuang minuman di meja
kalbu. Kita hanya diam membeku. Hingga gagak liar itu bertengger di
sudut kelopak hati. Berhembus angin timur menyobek kemanusiaan kita.***
Jombang, Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar